Kamis, 10 Juli 2008


SANG SURYA CELL
Kepemimpinan Perempuan dalam Islam
Di antara persoalan sensitif di tengah umat Islam yang hingga saat ini selalu aktual dibicarakan adalah masalah kepemimpinan perempuan. Senantiasa mengemukanya persoalan ini disebabkan beberapa alasan. Satu di antaranya adalah tak terhindarkannya keragaman pandangan dan perspektif dalam tubuh internal Islam dalam merespons persoalan ini. Pada paruh terakhir di abad dua puluh hingga awal abad dua satu persoalan ini mengemuka kembali bersamaan dengan maraknya perempuan tampil dalam berbagai wilayah publik yang ternyata dapat menempati posisi-posisi yang selama ini biasa dipegang oleh laki-laki dan puncaknya pada tampilnya perempuan menjadi presiden.
Ada beberapa Hadits yang biasa dirujuk ketika membahas kepemimpinan perempuan. Pertama, Hadits riwayat Bukhari melalui sahabat Abdullah bin Umar:
Dari Abdillah bin Umar dia berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda, Setiap kamu sekalian adalah pemimpin dan mempertangggungjawabkan kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin dan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya, lelaki adalah pemimpin di rumah tangganya, perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia mempertaggungjawabkan kepemimpinannya. Seorang pembantu adalah pemimpin untuk harta juragannya dan mempertanggungjawabkannya. Abdullah bin Umar berkata, “Aku duga beliau bersabda, seorang pria memimpin harta ayahnya dan setiap kamu adalah pemimpin dan mempertanggungjawabkannya“. (HR. Bukhari).
Membaca Hadits di atas tanpa meletakkanya dalam setting masyarakat Arab saat Rasulullah saw menyabdakannya terbaca bahwa pesan yang dibawanya hanyalah memberikan informasi bahwa seorang perempuan (istri) diberi hak kepemimpinan yang terbatas di rumah suaminya. Karena itu, penting untuk segera membawa Hadits tersebut dalam bingkai dakwah Nabi yang diberinya judul menyempurnakan makarimal akhlak. Tema besar makarimul akhlak yang diusung Rasulullah sungguhlah amat luas cakupannya, salah satunya, melakukan tujuh revisi demi kepentingan perempuan. Terkait dengan dunia perempuan dakwah Nabi difokuskan pada agenda mengangkat martabat Perempuan yang sebelumnya ternistakan.
Para ahli menyatakan, setidaknya ada tujuh revisi yang dilakukan Rasulullah saw untuk kepentingan perempuan: Pertama, perempuan dalam Islam adalah entitas makhluk yang dilindungi oleh undang-undang berupa Al-Qur’an dan Al-Hadits. Kedua, perempuan diberi hak untuk menentukan dan memilih pasangan hidupnya sendiri dalam pernikahan; ketiga, perempuan memiliki hak talak. Satu hak yang sama sekali tidak dimiliki perempuan pada masa jahiliyah. Pada masa itu, ketika seorang suami sudah tidak mencintai seorang istrinya, ia dapat meninggalkan istrinya begitu saja yang mengakibatkan perempuan dalam posisi dicerai terus menerus. Keempat, perempuan berhak mewarisi dan memiliki kekayaan di mana sebelumnya perempuan tidak memiliki hak itu bahkan perempuan menjadi “objek” warisan. Kelima, perempuan memiliki hak untuk mendidik dan membesarkan anak di mana sebelumnya anak menjadi keluarga laki-laki. Keenam, perempuan memiliki hak untuk membelanjakan hartanya dimana sebelumnya tidak memiliki kebebasan itu, bahkan perempuan sendiri diposisikan sebagai harta. Ketujuh, perempuan diakui keberadaannya dengan laki-laki di mana sebelumnya anak perempuan (dapat saja) dikubur hidup-hidup.
Selisih Pendapat tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Islam
Tema kepemimpinan dalam khasanah Islam disantuni dalam persoalan imamah. Imamah secara definitif dimaksudkan sebagai hak dan kewajiban yang dimiliki dan dibebankan kepada seseorang untuk memimpin orang lain karena kompetensinya untuk melakukan itu. Orang yang menjalankan imamah atau kepemimpinan disebut sebagi imam atau pemimpin. Berkaitan dengan tema ini, salah satu warisan klasik hingga saat ini masih jadi anutan mayoritas umat Islam, dan karenanya masih pantas untuk diperbicangkan, adalah syarat-syarat yang melekat pada seorang imam. Dalam hal ini, selalu disebutkan bahwa seorang imam adalah laki-laki yang memiliki kompetensi. Syarat seorang pemimpin politik misalnya, dinyatakan bahwa ia adalah seorang laki-laki yang memiliki kompetensi, sedangkan syarat seorang pemimpin shalat selalu dikatakan bahwa dia adalah seorang laki-laki yang cakap membaca Al-Qur’an. Dalam hal ini, perempuan sejak awal selalu disebut-sebut sebagai pribadi yang tak masuk kualifikasi untuk diangkat menjadi pemimpin.
Rekaman perbincangan tentang kepemimpinan perempuan memetakan tiga kelompok besar. Pertama, kelompok konservatif yang berpendapat bahwa Islam sejak kemunculannya di Makkah dan Madinah tidak pernah memperkenankan perempuan untuk muncul dalam kepemimpinan. Kelompok kedua, progressif yang menyatakan bahwa Islam sejak awal telah memberikan tempat yang sama bagi perempuan untuk tampil dalam kepemimpinan. Kelompok ketiga, yang berpandangan apologetik, yang berpendapat bahwa ada wilayah kepemimpinan yang dapat dirambah perempuan dan ada wilayah yang tidak dapat dijamahnya sama sekali Kelompok ini menyatakan bahwa wilayah kepemimpinan perempuan adalah menjadi seorang ibu untuk anak-anaknya (Hasyim, 2001). Lebih jauh kelompok pertama menyatakan, Islam tidak mengakui persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam praktik kepemimpinan. Al-Gazzali yang masuk dalam kelompok ini, misalnya, menambahkan bagaimana mungkin perempuan dapat tampil menjadi kepala negara dengan memegang pemerintahan sedangkan dia sendiri tidak memiliki hak untuk memutuskan perkara besar dan tidak mampu memberi kesaksian dalam pelbagai persoalan keputusan hukum. Pendapat senada juga diutarakan oleh al-Qalqasyandi seraya mengimbuhi bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin karena ia memiliki kekurangan dalam dirinya, Kekurangan tersebut menyebabkannya tidak mampu menikahkan dirinya apalagi diberi kekuasaan perwalian atas orang lain. Pendapat kelompok pertama ini didasarkan pada asumsi bahwa Islam memandang dunia peran terbagi kepada dua bagian besar. Pertama peran dalam ranah publik (al-wilayah al-’ammah) dan kedua peran dalam ranah domestik (al-wilayah al-khashshah). Peran dalam ranah publik mencakup urusan-urusan sosial kemasyarakatan seperti penyusunan undang-undang, melakukan proses rekonsiliasi konflik menjalankan pemerintahan dan lain sebagainya. Wilayah ini menjadi kekuasaan kaum laki-laki. Sedangkan ranah domestik meliputi tugas-tugas rumah tangga, mendidik anak, dan tugas-tugas lain yang bersifat privat. Argumentasi yang diketengahkan kelompok ini adalah surat An-Nisaa’ ayat 34, Al-Baqarah ayat 228 dan al-Ahzab ayat 33. Kedua ayat pertama dipahami sebagai ayat yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki kelebihan untuk menangani urusan publik. Sedangkan ayat terakhir dipahami sebagai dalil bagi keharusan perempuan untuk tinggal di rumah. Selain ketiga ayat tersebut kelompok ini pun mengedepankan Hadits Nabi yang biasa digunakan untuk menolak peran perempuan di ranah publik khususnya kepemimpinan publik, yaitu Hadits Abu Bakrah yang menjadi fokus kajian Hadits nomor ini.
Berhadapan secara diametral dengan kelompok pertama, adalah kelompok kedua, yang membuka kesempatan bagi perempuan untuk terlibat secara luas dalam dunia kepemimpinan khususnya politik. Menurut kelompok ini, sebagaimana halnya laki-laki, perempuan pun diperkenankan untuk mengemban tugas-tugas politik seberat yang dipangku oleh kaum laki-laki. Alasan yang dikemukakannya adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan tentang keadilan (al-’adalah), persamaan (al-musawah), yang selalu dijunjung tinggi oleh Islam, Di antara ayat yang dijadikan landasan argumentasi kelompok ini adalah surat At-Taubah ayat 71 dan surat Al-Hujurat ayat 10 serta surat Al-Israa’ ayat 70. Ayat pertama, menerangkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam berpolitik. Karena itu, sebagaimana laki-laki, perempuan pun memiliki hak mengatur masyarakat umum yang merupakan implementasi dari semangat amar ma’ruf dan nahyi munkar. Sedangkan kedua ayat terakhir, secara substantial mendeklarasikan bahwa Islam memuliakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang seimbang. Islam tidak mengenal diskriminasi antara anak manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
Adapun kelompok ketiga menyatakan, bahwa persoalan kepemimpinan perempuan bukan merupakan persoalan agama melainkan persoalan sosial politik dan budaya. Karena itu, lebih jauh kelompok ini berpendapat, adalah tidak tepat jika mempersoalkan kepemimpinan perempuan sebagai persoalan agama. Sejalan dengan asumsi yang dipegangnya, bahwa porsi emosional perempuan lebih besar dibandingkan dengan porsi rasionalnya karena itu wilayah kepemimpinan perempuan adalah menjadi ibu bagi putera-puterinya.
Menyokong Alasan Perempuan Menjadi Pemimpin
Terdahulu telah disebutkan bahwa di samping pendapat yang menyatakan bahwa perempuan tidak dapat menjadi pemimpin ditemukan juga, pendapat yang menyokong perempuan untuk tampil sebagai pemimpin. Ada rangkaian aiasan untuk menopang pendapat terakhir ini. Alasan dimaksud adalah:
Pertama, dakwah Nabi dengan tema besar makarimal akhlak yang diusung Nabi mencakup persoalan martabat perempuan yang dinistakan sejak lama. Itulah sebabnya secara evolutif namun pasti, dengan ragam caranya yang bijak dan pada berbagai kesempatan sabda Nabi dimaksudkan untuk empati, simpati dan akhirnya emansipasi perempuan. Pada masa Nabi, perempuan Muslimah terlibat dalam kancah yang selama ini dipandang sebagai dunia laki-laki. Mereka menyertai dan menjadi penyokong dakwah Nabi saw bahkan dalam beberapa kasus perempuan mendahului para pria. Dapatlah dipahami jika Nabi tidak pernah secara khusus untuk melarang perempuan terlibat di wilayah publik, Larangan terhadap perempuan untuk pergi sendirian tanpa disertai mahramnya selayaknya dipahami secara kontekstual, karena di lain kesempatan Nabi bersabda tentang adanya seorang perempuan yang pergi-pulang sendirian antara Hirah dan Mekkah untuk menunaikan haji. Dalam kaitan ini pula mesti dipahami mengapa Nabi saw pernah meminta Umar bin Kbathab untuk membiarkan para perempuan pergi ke masjid -sebagai tempat pertemuan publik- sebagaimana halnya para lelaki. Pembiaran Nabi saw terhadap para shahabiyah untuk masuk dalam wilayah publik merupakan langkah evolutifnya untuk kemudian tiba pada satu tema besar yang dengan bahasa kenabiannya mengizinkan perempuan untuk menjadi imam shalat bagi lingkungan keluarganya yang di dalamnya ada laki-laki, sebagaimana terbaca pada peristiwa Ummu Waraqah. Menempatkan peristiwa Ummu Waraqah, sebagai kejadian kasuistik yang sederhana dapatlah diterima tetapi melepaskan peristiwa Ummu Waraqah dalam konteks tema besar makarimal akhlak yang terkait dengan potensi kepemimpinan petempuan: sungguh merupakan sikap yang berat untuk dapat diterima. Bahkan hemat penulis, dapat digolongkan pada kategori asy-syakku fi tsubut al-hadits, meragukan keberadaan Hadits yang benar-benar disabdakan Nabi (Mushtafa Sa’id al-Khin, 1976).
Kedua, nash-nash Al-Qur’an tidak pernah menyebutkan adanya larangan perempuan menjadi pemimpin. Sebaliknya nash-nash Al-Qur’an dengan bertebaran menyajikan “kekuatan” perempuan dibanding laki-laki. Tatkala laki-laki bisa dinyatakan menjadi pemimpin, Al-Qur’an pun menyebutkan perempuan mampu untuk melakukannya sebagaimana terungkap pada pribadi Balqis. Sebaliknya, tatkala Al-Qur’an memberitakan tentang perempuan yang bersusah payah untuk mengandung dan menyusui putera-puterinya terang Al-Qur’an tidak menyebutkan laki-laki kecuali sebagai ayah yang menafkahi, menyediakan berbagai sarana yang diperlukan keluarga. Satu hal yang sejak dahulu perempuan pun dapat melakukannya yang jika itu terjadi - dalam bahasa fiqih klasik- dipandang sebagai shadaqah istri kepada suami. Dengan “kekuatan” itulah mengapa dijumpai nash-nash Al-Qur’an yang menempatkan perempuan sebagai partner laki-laki dalam mendakwahkan Islam dan nash yang menempatkan perempuan secara otonomi melakukan keshalihan sosial sebagaimana halnya laki-laki.
Ketiga, salah pemaknaan terhadap Hadits Nabi, persisnya pemaknaan pada Hadits Nabi yang dirrwayatkan sahabat Abu Bakrah.
KOPERASI AISYIYAH SANGSURYA KEPAHIANG

Tidak ada komentar: