
Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu?
Hadits populer yang menyatakan bahwa surga di bawah telapak kaki ibu itu ternyata tidak populer di kalangan ulama hadits. Hadits dimaksud berbunyi:
Setidaknya, imam-imam besar seperti Imam-imam Malik, Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah, Abu Daud, At-Turmudzi, tidak meriwayatkannya. Mungkin mereka tidak mengetahui Hadits itu. Atau, Hadits ini, diragukan otentisitasnya dari Rasulullah, sehingga mereka tidak meriwayatkannya. Kitab yang “kurang populer” bernama Musnad Asy-Syihab menyebut teks Hadits di atas pada Juz 1 halaman 102.
Di antara 9 penulis kitab Hadits (Kutub At-Tis’ah), hanya Imam An-Nasai yang meriwayatkan Hadits tersebut dengan redaksi yang sedikit berbeda, berbunyi sebagai berikut:
Artinya: Jahimah As-Salami mendatangi Rasul saw dan berkata: “Wahai Rasulallah, saya ingin mengikuti peperangan.” Nabi bertanya: “Apakah ibumu masih ada?” Ia menjawab: “Ya”. Rasulullah berkata: “Layanilah ia karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.”
Dari segi sanad, Hadits ini berkualitas hasan, karena periwayat yang bernama Ibn Juraij dan Thalhah kredibilitasnya tidak terlalu tinggi. Isi Hadits menunjukkan kemuliaan derajat ibu bagi anak-anaknya. Setiap anak harus rela menghinakan dirinya, bersujud di hadapan ibunya. Tanpa ridha ibu, mustahil seorang anak memperoleh balasan surga di akhirat kelak. Hadits ini sejalan dengan Hadits yang menunjukkan penghormatan anak terhadap ibu tiga kali lipat dari penghormatannya terhadap ayahnya. Hadits dimaksud adalah:
Hadits ini diriwayatkan oleh imam At-Turmudzi, Ibn Majah, dan Ahmad dengan redaksi yang mirip. Masing-masing jalur Hadits berpredikat hasan. Bahkan, At-Turmudzi mengambil Hadits ini dari jalur Imam Ahmad.
Mengapa Ibu?
Semenjak lahir, anak mempunyai ketergantungan kuat terhadap ibu, baik makan, berpakaian, maupun kebutuhan lainnya. Sang ibu pun merasa betapa nikmat dan bahagianya memberikan air susunya kepada sang anak, seolah ia memiliki andil besar dalam “menghidupi” anaknya. Dalam keadaan normal, anak selalu dirawat dan dibimbing ibunya, berada dalam dekapannya. Dengan cara ini, anak merasa terlindungi. Bila menghadapi masalah, ibu menjadi tempat berteduh. Hubungan anak dengan ibu lebih dekat dibanding dengan hubungan terhadap ayahnya.
Alkisah, di hadapan seorang raja, dua orang ibu memperebutkan seorang anak. Masing-masing mengaku sebagai ibu kandungnya. Karena tidak ada alat bukti yang cukup untuk memenangkan salah satunya, raja menyatakan akan memotong bayi menjadi dua sama besar. Masing-masing ibu mendapatkan satu potong. Seorang ibu menyetujui keputusan raja dan menilainya sebagai keputusan yang adil. Sementara ibu yang satu lagi menghentikan pengakuannya sebagai ibu kandung, dan menyatakan kalah dalam perebutan ini. Tentu, ibu yang setuju tadi merasa gembira karena akan memenangkan perebutan ini. Betapa terkejut kedua ibu itu ketika mendengarkan keputusan raja bahwa anak justru diberikan kepada ibu yang mengakui kekalahannya. Karena, menurut sang raja, ibu yang tidak bersedia menyaksikan bayi dibelah dua adalah ibu kandung yang sebenarnya. Mustahil seorang ibu kandung menyetui anak kandungnya dipotong menjadi dua, yang berarti dibunuh. Ibu yang menyetujui sang anak dipotong menjadi dua justru dijatuhi hukuman karena ia dusta.
Berkaitan dengan peran strategis ibu, Al-Qur’an menyajikan dua kisah penting. Pertama, Nabi Musa, semenjak bayi di bawah asuhan Asiyah yang bersuamikan Fir’aun. Di bawah asuhan ibu yang shalihah dan patuh kepada Allah, meskipun dalam kekuasaan raja yang amat durhaka kepada-Nya, Musa menjadi manusia yang tangguh keimanannya. Kedua, Kan’an yang tumbuh di bawah asuhan ibu yang kafir, meskipun bersuamikan Nabi Nuh, salah seorang Nabi pilihan. Kan’an menjadi anak durhaka mengikuti jejak ibunya dan binasa bersama ibunya dalam banjir besar yang dikenal dengan banjir Nabi Nuh. Kedua kisah Al-Qur’an ini menunjukkan bahwa ibu mempunyai peran strategis dalam mengantar anak menuju dewasa. Apakah kelak sang anak akan menjadi orang taat atau menjadi orang durhaka. Sebaliknya, ayah bukan faktor dominan dalam menentukan “masa depan” anaknya.
Ibu yang Tidak Mau Menjadi Ibu
Entah setan mana yang mengganggu, tidak sedikit ibu yang tega membiarkan anaknya terlantar. Ada ibu yang meletakkan anaknya yang baru lahir di kardus lalu ditemukan orang yang lewat. Ada ibu yang karena takut bayangan, tega menghabisi nyawa anaknya yang baru lahir. Ada ibu yang karena problem rumah tangga, setelah meminta cerai dari suaminya, meninggalkan anaknya yang masih kecil demi mengejar karir dan sesuap nasi. Anak dibiarkan diasuh sang ayah. Bukan hanya itu. Ibu tidak mengakui bahwa itu anaknya.
Ketika anak beranjak ke usia remaja, naluri keibuan muncul, ibu mulai menaruh perhatian, mengakuinya sebagai anaknya serta mengharap dapat hidup serumah. Anak yang pernah menyaksikan tayangan siaran bahwa sang ibu pernah tidak mengakuinya sebagai anaknya, sang anak pun menolak keinginan ibu dan tidak mau bertemu dengannya. Penyesalan ibu atas langkahnya tempo dulu tidak membawa hasil, dan tampaknya tidak sanggup membalut luka sang anak.
Dalam kisah lain, ada seorang ibu yang sudah usia senja, tinggal sendirian di rumah. Ia mengaku sedih karena anaknya tidak mau mengurusinya. Belakangan terjadi konflik dengan anaknya. Tidak jelas siapa sebenarnya yang salah. Anak mengatakan, sang ibu susah didekati. Bila anaknya datang, sang ibu kerjanya marah-marah saja, katanya. Saking jengkelnya kepada sang anak, ibu menyatakan putus hubungan dengan anak, tidak mau mengakui anaknya lagi. Tetapi, sebenarnya hubungan antara ibu dan anak tidak dapat diputuskan dengan apa saja, termasuk dengan pernyataan. Hanya dengan saling tidak senang, persoalan hubungan ini tidak akan selesai. Tentu, banyak orang menyayangkan kejadian semacam ini.
Jadi ada fakta, ibu menolak untuk berfungsi sebagai ibu, peran menyusui, mendengarkan tangis dan celoteh yang indah, menerima pengaduan anak, menyayangi, serta membimbingnya, yang dinikmati oleh para ibu pada umumnya, ditinggalkan begitu saja. Menolak perannya sebagai ibu bukan hanya mendapat kutukan dari masyarakat, tetapi dirinya sendiri merasa tersiksa batin yang berkepanjangan, serta terancam siksa di akhirat kelak. Ibu-ibu yang seperti ini tentu tidak “menginjakkan kakinya” di atas surga yang dihuni oleh anak-anaknya, karena mereka tidak mengambil kesempatan untuk itu.
Begitu juga dengan konflik ibu-anak. Jangan-jangan konflik antara ibu dan anak dalam kasus kedua ini disebabkan oleh kesalahan ibu selama mendewasakan anaknya. Semoga tidak benar. Tetapi, apa pun sebabnya, fakta konflik anak-ibu tidak lepas dari proses membimbing anak menjadi dewasa. Bila anak akhirnya berani melawan orangtua, misalnya, orangtua mempunyai andil dalam hal ini. Karena itu, perenungan kembali, selanjutnya berupaya mengalah untuk bersatu kembali, merupakan kewajiban di hadapan Allah SwT.
Sebenarnya ungkapan “surga itu di bawah telapak kaki ibu” merupakan ungkapan kiasan multidimensi. Ungkapan tersebut bisa dipahami bahwa anak itu mempunyai kewajiban mutlak menghormat dan berbakti kepada ibu. Ungkapan ini juga bisa dipahami sebagai suasana nikmat ibu. Kalau surga (suasana nikmat) yang dihuni anaknya saja berada di bawah dirinya, berarti ibu berada di atas suasana nikmat. Luar biasa! Alangkah ruginya bila kesempatan berperan sebagai ibu yang begitu nikmat dibuang begitu saja. Setidaknya, ada dua kerugian yang diterima ibu tadi. Pertama, tidak dapat menikmati membesarkan anak; kedua, kelak tidak mendapatkan penghormatan dari sang anak. Ini tidak berarti bahwa anak yang “dibuang” oleh ibunya boleh memutus silaturrahim dengan ibunya. Memaafkan kepada orang lain, termasuk ibunya, bukan perbuatan sia-sia, dan tidak merugikan dirinya sendiri. Tegasnya, memaafkan itu tidak ada ruginya. Bahkan, dengan memaafkan ia membuktikan kebesaran jiwanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar