
Tradisi Pernikahan Bangsa Arab (1)
Posted on April 15th, 2008 in 17 Hadlarah by redaksi
Fathi Hidayah
Di antara semua daratan yang luasnya sebanding dengan Semenanjung Arab dan di antara semua bangsa yang kepentingan dan makna historisnya sejajar atau mendekati bangsa Arab, hanya bangsa Arab yang luput dari perhatian dan kajian serius di masa modern ini.
Sebelum kedatangan Islam, Jazirah Arab
dihuni oleh kelompok masyarakat yang
sangat beragam. Ada kelompok masyarakat Mesopotamia (3500-300 SM) di lembah sungai Tigris dan Eufrat di sebelah wilayah Irak modern yang sebagian besar berasal dari orang-orang Ubaidia yang datang untuk membangun perkampungan, juga orang-orang dari Syiria dan Arabia yang seringkali mendominasi dalam bidang politik. Di bagian lain ada pula masyarakat Mediterania Timur Tengah yang berkembang pada abad kelima dan keenam Masehi. Sebagian besar masyarakatnya adalah penganut Kristen dan Yahudi. Juga Sasaniyah di wilayah Persia. Ketiga budaya mayarakat tersebut turut mewarnai dan membentuk cara pandang umat Islam awal terhadap perempuan.
Yang lebih menarik lagi, adalah masyarakat Mesir Kuno yang sangat egaliter dan menghargai perempuan. Bahkan, konon masyarakat ini mampu memengaruhi kultur masyarakat Yunani yang patriarkhis. Masyarakat Mesir Kuno tidak mengenal diskriminasi terhadap perempuan di wilayah publik. Perempuan secara bebas diizinkan melakukan kegiatan sehari-hari sebagaimana yang dilakukan kaum pria. Ia berhak menentukan pendapatnya sendiri tanpa tergantung wali laki-lakinya. Dalam tradisi mereka perempuan mempunyai hak cerai sebagaimana laki-laki. Sementara itu, dalam perkawinan laki-laki dilarang melakukan poligami dan memelihara selir. Kebiasaan yang longgar terhadap perempuan ini membuat masyarakat Mesir Kuno tidak mengenal tradisi pemingitan perempuan maupun hijab sebagaimana pada masyarakat Mesopotamia dan Sasania. Tradisi seperti itu, berlangsung hingga penaklukan Yunani yang selanjutnya menggantikan seluruh bangunan peradaban yang telah mapan di Mesir.
Itulah potret masyarakat Arab dan sekitarnya beberapa abad sebelum datangnya Islam. Ketika Islam datang pada abad keenam Masehi, warisan-warisan budaya ini berpengaruh pula pada masyarakat Arab saat itu. Pengaruh beberapa budaya yang berbeda-beda itu paling tidak bida kita lihat dalam sistem perkawinan yang menjadi tradisi masyarakat Arab.
Tradisi Pernikahan Arab Pra Islam
Berdasarkan dua karakteristik daratannya, penduduk Semenanjung Arab terbagi ke dalam dua kelompok utama: orang-orang desa (badui) yang nomad dan masyarakat perkotaan.
Kondisi alam dan pola hubungan antara masyarakat yang terjalin di kawasan ini sangat memengaruhi pemikiran dan gagasan mereka (badui) tentang Tuhan, agama dan spiritualitas. Dasar-dasar agama Semit berkembang di oasis-oasis, bukan di daratan berpasir dan berpusat di wilayah yang berbatu dan bermata air. Menurut penilaian Al-Qur’an (Q.s. [9]: 98), “orang-orang badui itu lebih condong pada kekafiran dan kemunafikan”. Bahkan hingga saat ini, mereka hanya melantunkan pujian-pujian dan penghormatan formalitas kepada nabi, tidak disertai keyakinan dalam hati.
Konsep agama dan keyakinan semacam itu, tumbuh dalam satu tatanan organisasi kekerabatan yang menjadi fondasi masyarakat badui. Saking kuatnya ikatan keluarga dan kekerabatan suku, bagi orang badui tidak ada musibah paling hebat dan paling menyakitkan selain putus keanggotaan dengan sukunya. Seseorang yang tidak menjadi anggota suku mana pun di sebuah negeri yang menganggap orang asing sebagai musuh, mirip dengan orang yang tidak memiliki tanah pada masa feodalisme di Inggris.
Pada zaman kelahiran Islam, sedikit demi sedikit tradisi masyarkat Arab mulai tertata. Untuk masalah tentang pernikahan, tradisi dari masyarakat lama mulai dibatasi. Pada masa badui sebelumya seorang wanita bisa menikmati kebebasan yang lebih kuat daripada sesamanya yang tinggal di perkotaan. Ia hidup dalam keluarga yang mempraktikkan poligami dan sistem perkawinan yang memuja laki-laki. Setiap laki-laki merupakan tuan. Tapi ia tetap bebas memilih calon suaminya dan meninggalkannya jika diperlakukan tidak patut.
Informasi yang terdapat dalam catatan orang-orang Yunani dan Latin, Srabo, mengisahkan bahwa di Arab Selatan praktik poliandri-sejumlah saudara laki-laki menikahi seorang wanita yang sama- merupakan fenomena umum, bahwa penduduknya terbiasa menikah dengan keluarga dekat dan bahwa mereka memuliakan saudara tertua, karena setiap yang tertua akan menjadi pemimpin.
Poligami dan poliandri merupakan tradisi masyarakat Arab pada waktu Islam lahir. Akan tetapi, Islam tidak pernah menjustifikasi praktek tersebut. Oleh Islam justru tradisi yang liar pada waktu itu kemudian, dibatasi dengan sangat ketat dan ditempatkan sebagai salah satu penyelesaian problem sosial. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an Q.s. An- Nisaa’: 3.
Ayat ini sama sekali tidak untuk menjustifikasi poligami. Ayat ini, sering dipahami secara kurang tepat oleh masyarakat dan dijadikan begitu saja sebagai sumber legitimasi bagi praktik poligami. Padahal, sebab turunnya ayat ini adalah berkaitan dengan keberadaan anak-anak yatim karena orang tuanya menjadi sahid dalam perang Uhud, sehingga ada kekhawatiran para pengasuhnya makan harta anak yatim.
Karena itu ayat ini menyarankan untuk menikahi para janda syuhada tersebut supaya orang-orang tidak terjerumus pada perbuatan yang dlalim. Jadi, ada semangat untuk ikut menyelesaikan permasalahan sosial dalam ayat ini.
Selain poligami, tradisi kuno warisan luhur masyarakat Arab pra –Islam adalah kawin kontrak. Mulanya, itu sebagai aliansi sementara antara seorang laki-laki perempuan dalam rangka pemberian perlindungan di tengah lingkungan sukunya, baik dari sisi politis maupun sosial. Karena itu, mereka laik mengadakan kontak seksual sebagai imbal jasa atas perlindungan yang diterima oleh wanita tersebut.
Semasa Rasulullah, bahkan, sampai masa-masa sesudahnya masih diberlakukan. Baru pada masa khalifah Umar bin Khatab, kawin kontrak ini dilarang karena telah disalahgunakan dan bahkan menjadi prostitusi terselubung. Pelarangan dan pendapat Umar bin Khatab ini kemudian diikuti oleh masyarakat dan ulama Sunni. Namun, pada masa Abbasiyah kawin kontrak dihidupkan kembali oleh khalifah al Makmun, tetapi kemudian dibatalkan oleh pelanjutnya. Sementara itu, gologan yang masih mempertahankan kawin kontrak sampai sekarang adalah Syi’ah. Salah satu cendekiawan Syi’ah, Imam Ja’far al Shadiq, bahkan telah merumuskan doktrin kawin kontrak dalam formulasi yang lebih mapan, yang dikembangkan oleh penerusnya sampai masa kontemporer ini.
Tradisi Pernikahan Arab Modern
Pernikahan merupakan suatu peristiwa paling penting dalam masyrakat Arab saat ini. Setelah Islam lahir, tradisi pernikahan di dunia Arab mengikuti tata cara sesuai yang diajarkan oleh Islam walaupun, untuk cara melangsungkannya ada sebagian yang terakulturasi dengan budaya Barat.
Saat ini, pernikahan bagi orang-orang Arab dilatar belakangi dengan kepentingan bisnis, bukan lagi sebagai penyelesaian bagi problem sosial sebagaimana yang terjadi pada masa nabi. Sebelum Islam lahir, tidak ada batasan hak pernikahan bagi laki-laki untuk menikah ataupun malakukan perceraian. Dalam hukum Islam, semua itu dibatasi, sebagaimana telah disebutkan di atas, untuk itu Islam menetapkan adanya mahar yang dijadikan sebagai jaminan bagi pihak wanita, karena lembaga pernikahan bukan hanya sebagai legalisasi hukum, tetapi lebih dari sekedar kontrak sosial.
Seiring perkembangan zaman, dewasa ini di dunia Arab marak dengan budaya pernikahan yang meniru pada zaman Jahiliyah. Nikah Urfi, misalnya, ini adalah bentuk praktik kawin kontrak (nikah mut’ah) sebagaimana yang telah ada pada zaman nabi dan sebelumnya. Dahulu, pernikahan jenis ‘Urfi ini dilakukan oleh janda-janda yang ditinggal perang oleh suami mereka. Untuk tetap mendapatkan status pernikahan mereka, kawin kontrak menjadi pilihan. Perkawinan tersebut hanya berlangsung selama musim perang.l
Penulis adalah alumni Jurusan Sastra Asia Barat Fak Ilmu Budaya UGM
Sekarang, pernikahan model ini banyak dilakukan oleh remaja-remaja dan mahasiswa yang tidak kuat dengan biaya pernikahan. Pernikahan ini populer dikalangan pemuda Mesir. Banyak kontroversi tentang kelegalan nikah ‘Urfi ini. Kebanyakan dari mereka yang melakukan nikah ‘Urfi ini tidak melalui prosedur yang diajarkan oleh Islam dan pemerintah. Pernikahan ini dilakukan tidak dengan wali dan tanpa sepengetahuan keluarga. Mereka hanya menandatangani kontrak yang mereka buat sendiri. Beberapa ulama Mesir menolak pernikahan ‘Urfi ini karena dianggap sebagai prostitusi dengan sampul Islam. Ini gejala lama di masyarakat Timur Tengah. Ulama setempat kemudian melakukan penelitian. Setelah dikaji selama setahun, Majelis Hukum Islam berpengaruh di Makkah, pada April 2006 lalu menyatakan, “nikah misyar” dihukumi legal. Cendekiawan muslim ternama Youssef al-Qaradawi juga memberi persetujuan, tapi harus ada mas kawin sebagai jaminan bagi istri. Keputusan ini mengagetkan banyak kalangan. Setidaknya, bagi aktivis perempuan setempat.
Jenis pernikahan baru tersebut seperti dilaporkan TV Al-Arabiya melalui situsnya www.alarabiya.net disebut zawaj al-meshyaf alias pernikahan semusim pada musim panas saja. Pernikahan tersebut, menurut situs salah satu TV swasta terkemuka Arab yang berpusat di Dubai, terjadi di kalangan pengusaha, baik pengusaha pria maupun wanita, saat mereka liburan musim panas ke luar negeri. Tidak ada yang aneh dalam pernikahan tersebut, semua berlangsung seperti layaknya pernikahan biasa. Yang berbeda hanya, hubungan suami istri hanya berlangsung selama musim liburan dan kemudian putus alias ditalak begitu liburan usai saat kembali ke tanah air. “Nikah al-meshyaf sebagai cara untuk membentengi diri dari kemungkinan terjerumus dalam perzinahan di luar negeri akibat berbagai macam godaan saat melaksanakan liburan,” alasan utama mereka.
Terlepas dari pro kontra jenis perkawinan baru itu, yang jelas gejala mulai maraknya al-meshyaf akhir-akhir ini di kalangan pengusaha, terutama di Arab Saudi, biasanya menjelang liburan musim panas yang umumnya berlangsung antara Juni-September. Mengingat perkawinan ini terkesan istimewa, maka ditentukan pula syarat istimewa dari kedua belah pihak. Bagi si gadis yang akan dipersunting, misalnya, menyaratkan mas kawin tinggi, plus mobil mewah dan rumah mewah. Bagi pengusaha yang akan didampingi sang istri musiman juga menentukan beberapa syarat khusus penampilan cantik, di antaranya lancar berbahasa Inggris dan siap ikut pertemuan dengan mitra bisnis di luar negeri di sela-sela melaksanakan liburan.
Menurut Dr. Gabriele Marancci, dosen Anthropologi Islam Universitas Aberdeen, nikah mut’ah atau kawin kontrak sebagai pernikahan yang diperbolehkan tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Dalam Islam pernikahan yang dilegalkan yaitu, Nikah itu sendiri. Pernikahan mut’ah ini diberlakuan oleh kaum Syiah dengan berbagai alasan, diantaranya yaitu: sebagai sarana yang dianggap bisa untuk menghalalkan hubungan seksual antara dua orang yang malakukan kontrak, untuk menjadikan mahram misalnya diantara dua orang yang telah tinggal serumah tetapi bukan mahram, dan untuk menghindari perzinahan.
Tata cara Pernikahan Islam di Sebagian Bangsa Arab
Islam lahir sebagai agama yang mebawa risalah kebenaran, meluruskan segala sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam. Begitu banyak penyimpangan yang terjadi sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Dengan begitu, kita harus tahu bagaimana tata cara pernikahan yang sesuai dengan syariat Islam. Sebagai contoh yaitu tradisi pernikahan di kalangan orang-orang Arab sendiri. Meskipun tradisi ini sudah terkontaminasi dengan budaya masyarakat sekitar, namun masih sesuai dengan syariat Islam.
Meskipun masih dalam satu rumpun bangsa Arab ternya setiap Negara mempunyai tradisi berbeda-beda dalam menyelenggarkan acara pernikahan. Untuk bangsa Arab (Semit) yang tinggal di daratan Asia, upacara pernikahan dimulai dengan perkenalan keluarga yag disebut ta’aruf, ini dimaksudkan untuk meminang pihak wanita. Setelah proses ta’aruf ini, biasanya tidak langsung dilaksanakan proses pernikahan, ada tenggang waktu selama 3 bulan. Apabila selam tenggang waktu tersebut tidak segera dilangsungkan pernikahan, maka proses tersebut bisa diperbaharui lagi.
Proses selanjutnya adalah menentukan mahar dan tanggal pernikahan. Mahar merupakan hadiah perkawinan untuk mempelai wanita dri pihak keluarga pria, biasanya berupa uang atau perhiasan. Untuk penentuan tanggal, ada hari-hari yang dilarang untuk ,elangsungkan pernikahan yaitu pada 2 Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha) dan pada hari Ashura (9 dan 10 Muharram). Selain hari-hari tersebut bisa dilangsungkan acara pernkahan.
Biasanya untuk tradisi pernikahan di Asia, mempelai wanita memakai gaun yang mewah dengan perhiasan dan bunga-bunga. Akan tetapi, untuk masyarakat Arab biasanya pengantin wanita hanya mengenakan gaun putih dan kerudung. Tangan dan kakiya dihiasi dengan tato hena yang disebut Mehndi. Pengantin pria hanya memakai pakaian yang simple, dengan pakaian tradisional atau dengan busana gaya Barat, bisa juga perpaduan antara keduanya.
Upacara pernikahan disebut dengan Nikah. Pada saat itu mempelai wanita dan pria dipisahkan dalam tempat yang berbeda dalam satu gedung atau ditempatkan dalam ruangan yang berbeda. Para tamu juga dipisahkan antara laki-laki dan perempuan.
Prosesi pernikahan dimulai dengan mendengarkan khutbah nikah yamg disampaikan oleh seorang Qazi. Selanjutnya adalah pembacaan Ijab Qabul oleh pengantin pria. Acara dilanjutnya dengan melengkapi berkas pernikahan yang diberikan oleh pihak masjid dan pemerintah setempat. Acara kemudian ditutup dengan pembacaan do’a.
Setelah do’a selesai, para hadirin biasanya menebarkan guntinan kertas berwarna warni sebagai symbol suka cita. Tradisi lama masyarakat Arab adalah melemparkan koin kearah pengantin wanita, dan ritual ini disebut degan Savaqah.
Walimah merupakan resepsi pernikahan yang dimaksudkan sebagai symbol rasa syukur yang diungkapkan dengan perjamuan makan bagi kerabat dan tetangga. Saat itu kedua mempelai dipertemukan untuk pertama kalinya. Kepala kedua mempelai ditutupi dengan kain selendang yang disebut dupatta dan do’apun dibacakan.
Kedua mempelai menghabiskan malam pertamanya di rumah pihak wanita, dan mereka ditempatkan dalam kamar yang terpisah. Keesokan harinya, ayah pengantin pria akan membawa mereka kerumah baru dan menyarahkan pengantin wanita kepada suaminya, ini merupakan symbol bahwa si wanita telah sepenuhnya menjadi tanggung jawab sang suami. Ritual semacam ini dinamakan dengan rukhsat.
Seorang wanita Muslim tidak bisa menikah dengan pria yang beda keyakinan. Akan tetapi, untuk pria, boleh menikahi waita non-Muslim selama wanta tersebut beragama Kristen atau Yahudi. Anak hasil pernikahan mereka nantinya otomatis beragam Islam.
Tradisi pernikahan untuk bangsa Arab di bagian Afrika Utara hampir sama, hanya saja di Maroko mereka menggunakan istilah Beberiska untuk tradisi tato hena. Tradisi menghias tato hena tersebut sudah ada di wilayah tersebut sejak 200 tahun yang lalu. Di Maroko, sebelum pengantin wanita resmi menjadi nyonya rumah di rumah barunya, ia harus berjalan mengelilingi rumah selama 3 kali.
Di wilayah Timur Tengah, musim panas merupakan waktu yang tepat untuk melangsungkan pernikahan, dan ini berarti pertanda yang baik. Upacara pernikahan biasanya dimulai pada pukul 5 sore dikediaman pengantin wanita. Kemudian pihak keluarga pengantin pria datang pada petang harinya dan dilangsungkanlah acara pernikahan. Dansa dan nyanyian tradisonal Arab pun digelar. Setelah upacara selesai, mempelai wanita kemudian dibawa ke sebuah kamar hotel dimana sang pengantin pria menunggunya. Mereka tinggal di ruangan tersebut selama setengah jam. Setelah itu mereka keluar dan berdansa bersama untuk pertama kalinya. Acara kemudian dilanjutkan dengan makan malam. Pesta pun dilanjutkan sampai tengah malam, dan biasanya acara ditutup dengan penampilan seorang penyanyi.
Penulis adalah alumni Jurusan Sastra Asia Barat Fak Ilmu Budaya UGM